Peran Media Terkait Kesetaraan Gender
Abstract
Communication is the process of sending and receiving
messages or information between two individuals or groups. Communication
science is a multidisciplinary social science and its field of study is very
broad. Media has a high enough role in social order. In social life, it often
creates the perception that the role of women is only limited to the domestic
sphere, while men are in the public sphere. Supposedly, based on gender equality,
women can play a role in the public sphere and men can also take roles in the
domestic sphere. The media are quite instrumental in educating the public about
gender equality. The role of the media is very large as a form of gender
equality education to families and society.
Keywords: Communication, Gender, Women, Media
Pendahuluan
Permasalahan perempuan di masyarakat adalah
ketidaksetaraan gender yang masih kuat dalam tatanan sosial, masalah klasik
yang selalu muncul adalah diskriminasi terhadap kaum perempuan dalam bidang
pendidikan, pekerjaan dan status sosial. Media massa masih menjadikan perempuan
sebagai obyek di dalam iklan, berita, program acara seperti film dan sebagainya.
Perempuan dalam iklan tampil dengan memperlihatkan keindahan tubuh dan
kecantikannya. Dalam pemberitaan cenderung menggambarkan perempuan sebagai
pihak yang lemah dan tidak berdaya, atau menjadi korban tindakan kriminalitas.
Sementara dalam film atau sinetron, perempuan digambarkan lemah, tidak berdaya,
korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pekerjaan sebatas ranah domestik
saja. Pada tahun 2005 studi perempuan di
Indonesia masih menggunakan “diskriminasi wanita” atau “diskriminasi gender”
mendominasi tulisan para feminis Indonesia. Namun sejak berlakunya UU
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT),
istilah “kekerasan terhadap perempuan” perlahan menggusur istilah “diskriminasi
gender” atau “diskriminasi terhadap perempuan” (Danardono Dkk, 2014)
Dalam dunia Jurnalistik, peran perempuan dalam
bidang ini masih relatif sedikit dibandingkan posisi laki-laki. Walaupun
demikian, jumlah perempuan yang berprofesi sebagai jurnalis mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Di negara maju, jurnalis perempuan mencapai
30% sampai 40% (Jurnal Perempuan, 2003). Berdasarkan data Lembaga Studi Pers
dan Pembangunan, jurnalis perempuan di Indonesia mencapai 17 %. Namun dalam
tingkat pengambilan wewenang masih terbatas, posisi perempuan sebagai kepala
bidang, editor, serta pemilik media berkisar 0,6%. (Venny, 2005). Persoalan
perempuan dalam media masih terdapat sensitivitas gender dalam menentukan isu
berita. Media massa seringkali mengabaikan isu perempuan dalam kesetaraan
gender.
Kerangka Teori
Komunikasi adalah salah satu elemen penting
dalam menyampaikan maksud, ide, gagasan kepada orang lain. Aristoteles
mengatakan komunikasi merupakan usaha yang berfungsi sebagai alat warga masyarakat
dalam berperan serta dalam demokrasi. Dalam perkembangan ilmu komunikasi muncul
perspektif kritis adanya kesadaran pesan komunikasi bukan hanya aksi sosial
namun turut melanggengkan kekuasaan dan dominasi ideologi patriarki.
Mary Wollstonecraft (1792) menyatakan bahwa
kaum feminis bertumpu pada perjuangan hak-hak politik dan harapan ekonomi yang
setara dan pada tahun 1920 memperoleh pencapaian hak pilih dalam pemilu
(Suwastini, 2013). Pada tahun 1908 Pemerintahan Belanda menerapkan politik
diskriminasi berdasarkan ras dan jenis kelamin bahwa hak pilih hanya diberikan
untuk laki-laki Hindia Belanda (Indonesia). Berdasarkan Undang-Undang Dasar
1945 telah menjamin persamaan kedudukan tiap warga negara dalam hukum dan
pemerintahan. Sejak 18 Agustus 1945, perempuan Indonesia telah memiliki hak
untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.
Rouho dan Torkkola (2018) mengatakan bahwa
media massa dalam pemberitaan kasus-kasus tertentu yang memuat perempuan
sebagai objek, perempuan menjadi komoditas untuk menarik pembaca, kritik gender
diarahkan pada teks dan genre jurnalistik yang tidak lengkap di media dan
sering mendefinisikan teks sebagai teks maskulin.
Rumusan Masalah
Sejauh mana pengambil wewenang dalam media
masa memiliki sensitivitas gender dalam menentukan isu pemberitaan. Jika media
memiliki keberpihakan, hasil peliputan secara tegas memiliki perspektif
tersendiri. Namun jika media netral gender, peliputan tidak memiliki perspektif
tertentu atas persoalan yang memihak kepada perempuan. Persoalan perempuan di
media meliputi pemberitaan sensitivitas gender dan jurnalisme memiliki
keberpihakan pada sejauh mana akses perempuan pada media masa. Permasalahan yang menarik untuk dikaji adalah bagaimana pandangan
gender perempuan yang bekerja di media? Hal ini menarik karena secara sosial
dan budaya perempuan bekerja di ranah publik. Jurnal Kajian Komunikasi,
Volume 4, No. 1, Juni 2016, hlm 84 - 94 85 dalam hal ini media yang sangat
maskulin memiliki potensi konflik dengan peran perempuan yang dinternalisasikan
di ranah domestik. Bagaimana kaum perempuan mengatasi hal tersebut untuk terus
bertahan dalam profesinya atau pekerjaannya di ranah publik? terdapat
beberapa masalah terkait peran perempuan di ranah publik dan domestik.
Persoalan tersebut tentu saja akan terus memburuk apabila tidak terdapat upaya untuk menyikapi kondisi tersebut dengan bijak. Oleh karena itu maka perlu
dilakukan penelitian terkait dengan fenomena tersebut untuk memahami beberapa
pertanyaan yang muncul dan memberi kontribusi untuk menyikapi masalah tersebut
dengan bijak dan menjunjung kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dan laki-laki.
Pembahasan
Dalam industri media, distribusi informasi dan
produksi selalu menjadi pokok yang tidak pernah terselesaikan. Adanya relasi
kuasa antara media dan isu gender di Indonesia, menjadikan salah satu stasiun TV swasta di
Indonesia berorientasi sebagai lembaga profit tidak akan pernah beranjak dari
untung dan rugi. Dampak media yang semakin kuat menciptakan sosok perempuan yang ditampilkannya adalah aturan yang memperkokoh
stereotip yang sudah terbangun di tengah masyarakat. Pada umumnya media
massa adalah salah satu yang menciptakan ketidaksetaraan gender dalam setiap
pemberitaannya, tetapi ikut serta memperkaya, serta melestarikan, bahkan
memperparah ketidakadilan terhadap perempuan dalam masyarakat (Juditha, 2015). Terdapat banyak kritikan terhadap pers dalam kajian akademis, diskriminasi terhadap perempuan yang tampil dalam media massa tentunya
menjadi sasaran bagi kaum feminis liberal. Oleh karenanya pelaku media massa
terutama jurnalis harus dapat memahami konten yang akan di terbitkan tanpa terdapat celah dan menjadi amunisi kaum feminis liberal dalam melestarikan praktik kesetaraan gender, seperti gerakan feminis salah satunya.
Terdapat beberapa hal penting yang diidentifikasi sebagai faktor
pendukung dan penghambat peran perempuan pekerja media di ranah publik dan
domestik. Pola asuh atau perlakuan keluarga pada perempuan sebagai anggota
keluarga dan lingkungannya menjadi aset bagi perempuan untuk mengenal dirinya diantara
orang lain, membentuk identitas dirinya dan memahami perbedaan dirinya sebagai
perempuan dalam pandangan masyarakat. Selain itu pola asuh juga mempengaruhi
pemaknaan mereka akan dirinya. Pekerjaan di dalam rumah (domestik) umumnya tetap hanya dibebankan pada
perempuan, walaupun sebagian orang tua telah membekali anak perempuannya untuk
dapat mandiri dalam aspek ekonomi atau mampu bekerja untuk membantu ekonomi
keluarga. Alasan ekonomi menjadi hal utama perempuan memilih
bekerja. Pada
situasi di atas maka penempatan apakah seorang bekerja di lapangan atau di
kantor, institusi media yang diteliti juga mempertimbangkan kondisi perempuan.
Perlakukan istimewa yang dilakukan institusi bukan sesuatu yang harus digugat
karena pada dasarnya hal itu justru berbasis keadilan. Tidak adil apabila
pekerja perempuan yang hamil kemudian disisihkan atau dianggap tidak
profesional karena kehamilannya. Kehamilan adalah sesuatu yang harus ditanggung
oleh perempuan, Hal tersebut merupakan takdir untuk kepentingan bersama keluarga maupun masyarakat. Selain peraturan dari pimpinan yang memperhitungkan kondisi
perempuan dan memperlakukanya secara adil sesuai dengan kondisi yang harus
dilaluinya sebagai perempuan, kebebasan yang dimiliki pekerja perempuan untuk
berbagi kerja dengan temannya menjadi aspek yang banyak mendorong perempuan bertahan
untuk bekerja
Kesimpulan
Cara terbaik dalam memahami kedudukan
pria dan wanita adalah dengan saling melengkapi sesuai ketentuan masing-masing
seperti yang telah terdapat dalam literatur teologis. Selanjutnya ide
untuk menyatukan agama dan kesetaraan gender juga tidak tepat.
Karena memiliki basis ideologi yang berbeda. Begitupula halnya dengan media
massa. Media massa disimpulkan sebagai faktor yang mempengaruhi terbentuknya
ideologi. Walaupun tidak sendirian, namun media massa
memegang faktor yang cukup berpengaruh, hal ini didasari oleh orientasi media
massa yang telah berkembang menjadi agen sosialisasi yang semakin menentukan besarnya intensitas masyarakat mengkonsumsinya. Hal ini dapat
dilihat melalui kepemilikan modal dan produksi media yang selalu berorientasi
pada pasar. Bukan saja yang berorientasi pada faktor ekonomi namun juga telah
menyentuh ranah ideologi, politik, dan kekuasaan yang akhirnya berujung pada
penaklukan akan publik. Sebagai sarana konsumsi khalayak, pelaku media massa
harus terus memberikan pemberitaan yang proporsional agar citra perempuan tetap
baik sehingga mengurangi atau bahkan menghilangkan stereotip negatif terhadap
kaum perempuan tidak lagi dijadikan tunggangan atau alat untuk melakukan
propaganda kepada publik.
Daftar Pustaka
Alfirahmi, R. (t.thn.). Kontruksi Realitas Sosial
Perempuan Tentang Gender Dalam Pembentukan Karakteristik Anak Terhadap
Pemahaman Gender. 251-252.
Benni Handayani, Y. (2020). Wacana
Kesetaraan Gender: Kajian Konseptual Perempuan Dan Pelaku Media Massa. Ranah
Komunikasi, 114-115.
Diyah Ayu Retno Widyastuti, M. K.
(2010). Evektivitas Komik Saku Sebagai Media Pemilih Dan Pemilu Bagi Perempuan
Marginal. Ilmu Komunikasi, 217.
Herawati, M. (2016). Pemaknaan Gender
Perempuan Pekerja Media Di Jawa Barat . Kajian Komunikasi, 89-91.
Santi, S. (2007). Jurnalisme Berspektif
Gender. Komunikologi, 100-101.
Wulan, R. R. (2019). 2019. Acta
Diurna.
Zamroni, M. (2013). Perempuan Dalam
Kajian Komunikasi Politik Dan Gender. Dakwah, 106-109.
Zuhriya, R. (2015). Pola Komunikasi
Perempuan Dalam Mengkonstruksi Identitas Gender. Rural and Development,
89-90.
Komentar
Posting Komentar