TRADISI
BUDAYA MUBENG PUNDHEN MASYARAKAT KEDALON BATANGAN PATI
Mubeng Pundhen Cultural Traditions Kedalon Batangan Pati Society
Atmimlana Nurrona
(1940210113)
Institut Agama Islam
Negeri Kudus
Email:
atmimlananurrona11@gmail.com
Abstrak
Pernikahan adalah
suatu ikatan laki-laki dan perempuan yang diresmikan dalam ikatan yang sah
sesuai norma agama, norma hukum, norma sosial, dan tradisi daerah. Pernikahan merupakan
hal yang sangat penting bagi manusia dalam menjalani kehidupan yang dilaksanakan
dalam suatu upacara yang terhormat dan mengandung unsur sakral di dalamnya
termasuk tradisi pernikahan Jawa. Setiap daerah, pasti mempunyai tradisi
kebudayaan tersendiri. Begitu juga dengan adat pernikahan jawa. masyarakat
jawa, sangat erat dengan adat tradisi jawa hingga turun-temurun. Mereka
percaya, sebuah tradisi harus dilaksanakan untuk menghormati para leluhur.
Salah satunya adalah tradisi mubeng pundhen bagi pengantin yang sudah
melaksanakan akad nikah di Desa Kedalon, Batangan Pati. Penelitian ini termasuk
penelitian sejarah sosial bersifat kuantitatif. Metode pengumpulan data
dilakukan secara interview, observasi, dan deskriptif. Sumber datanya adalah
sumber tertulis dan lisan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2020.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa adat pernikahan di Desa Kedalon, wajib melaksanakan
tradisi mmengelilingi pundhen, Makam Dampo Awang, dan Makam Kamdowo. Tradisi
ini, belum tentu dilaksanakan di setiap daerah yang ada di Kecamatan batangan.
Abstract
Marriage is a bond
between men and women that is formalized in a legal bond according to religious
norms, legal norms, social norms, and regional traditions. Marriage is a very
important thing for humans in living a life that is carried out in an honorable
ceremony and contains a sacred element in it including Javanese wedding
traditions. Each region, must have its own cultural traditions. Likewise with
Javanese wedding customs. Javanese people, very closely with the Javanese
tradition to the hereditary. They believe, a tradition must be implemented to
respect the ancestors. One of them is the mubeng pundhen tradition for brides
who have implemented a marriage contract in Kedalon Village, Batangan Pati.
This research is a quantitative social history research. Data collection
methods are done by interview, observation, and descriptive. The data sources
are written and oral sources. This research was conducted in May 2020. The
results of this study found that the custom of marriage in the village of
Kedalon, is obliged to carry out the tradition of circumnavigating the pundhen,
Dampo Awang Tomb, and Kamdowo Tomb. This tradition, is not necessarily carried
out in every region in the Batangan District.
PENDAHULUAN
Kedalon adalah desa
di kecamatan Batangan, Kabupaten Pati, jawa Tengah. Kedalon terletak di sebelah
utara jalan raya pantura Desa Gajahkumpul dan Desa Batursari, Sebelah barat
Desa Jembangan dan Desa Lengkong, di sebelah selatan berbatasan dengan Desa
Gunungsari, dan sebelah timur Desa Gajahkumpul dan Desa Mojorembun, Kaliori,
Rembang. Desa Kedalon memiliki empat Rukun
Warga. Rukun Warga I disebut Dukuh gadel, Rukun Warga II disebut Dukuh Tulis
dan Dukuh Nganguk, Rukun Warga III disebut Dukuh Klumpit dan Rukun Warga IV
disebut Dukuh Kedalon. Setiap dukuh terdapat masjid dan pemimpin agama atau
biasa disebut imam masjid yang menjadi tauladan dan sesepuh warga dukuh.
Menurut sejarah yang diceritakan
turun-temurun, cikal bakal Desa Kedalon adalah Danyang Singo Nyidro yang hidup
semasa dengan Danyang Yuyu Rumpung yang merupakan danyang dari Desa Maguan dan
Kudo Suwengi danyang dari Desa Jembangan. Masyarakat setempat mempercayai bahwa
Singo Nyidro adalah penguasa sekaligus nenek moyang dari warga asli Desa
Kedalon. Makam Singo Nyidro diyakini terletak di sebelah barat daya SMP Negeri
1 Batangan. Sebagian besar mata pencaharian
masyarakat Kedalon adalah petani tambak yang membuat garam, budidaya
ikan bandeng dan udang windu. Sebagian lagi petani sawah yang mengandalkan air
tadah hujan. Para petani tambak ini biasanya dibayar sesuai dengan jasanya dalam
mengelola (menggarap) tambak garam milik para juragan, atau biasanya dengan
sistem bagi hasil saat garam sudah di panen. Di Dukuh Klumpit sebagian warganya
ada juga yang berprofesi sebagai penyadap legen sekaligus penjual buah siwalan
dari lahan yang terbatas. Wilayah Desa Kedalon yang tergolong tadah hujan ini
bisa dibilang sangat kekurangan air. Tetapi dengan adanya saluran PDAM dari
pihak Kabupaten Pati sebagian dapat menikmati air minum bersih. Namun PDAM tersebut
hanya mencapai dukuh gadel, dan untuk dukuh lainnya belum dapat menikmati PDAM.
Sedangkan sumber air tanah yang ada sebagian besar payau dan sebagian kecil
airnya asin seperti air tambak garam. Desa
Kedalon memiliki tiga Sekolah Dasar dan satu Sekolah Menengah Pertama, dan
beberapa pendidikan non formal seperti pengajian, sekolah sore (diniyah) dan
pondok pesantren.
PEMBAHASAN
Prosesi
Adat Pernikahan Jawa Tengah
Berdasarkan hasil
wawancara pada penelitian ini dapat diketahui bahwa pernikahan merupakan
peralihan dari dewasa menuju ke masa keluarga. Pernikahan merupakan ikatan
laki-laki dan perempuan yang telah diatur oleh hukum agama dan sosial serta
tradisi dalam menjalani babak kehidupan baru. Hal ini sesuai dengan pernyataan
teori yang dikemukakan oleh Hornby (dalam Wismanto, 2005) yang berpendapat
bahwa marriage : the union of two persons as husband and wife. Menurut
teori tersebut dapat diartikan bahwa pernikahan adalah bersatunya dua orang
sebagai suami istri dalam ikatan yang sah oleh agama maupun hukum negara. Tradisi
adat Jawa adalah sebagai suatu prosesi atau ritual sakral yang diajarkan secara
turun-temurun. Di dalam ikatan pernikahan, pasangan suami istri harus dapat
memahami satu sama lain. Seorang suami harus mampu menafkahi istri lahir dan
batin. Suami mampu membimbing istri ke jalan yang baik dan mendidik
anak-anaknya. Seorang istri harus mampu melayani suaminya dan menciptakan
kedamaian diantara keduanya. Kebudayaan jawa masih sangat diagungkan, seperti
pernikahan adat Jawa Tengah yang memiliki banyak simbol untuk kebaikan rumah
tangga yang dibangun pengantin dengan melaksanakan prosesi adat pernikahan. Prosesi yang
dilaksanakan adalah buncalan gantal, yaitu daun sirih yang diikat dengan benang
putih. Kemudian pasangan pengantin saling melempar gantal tersebut. Pengantin
pria melemparkan pada dada pengantin wanita sebagai bentuk kalua ia telah
mengambil hati sang kekasih, lalu pengantin wanita akan menunjukkan gantal ke
lutut sebagai tanda bakti kepada suami. wijik sekar setaman, pengantin
wanita mencuci kaki suaminya dengan air kembang setaman serta mengeringkannya.
Hal ini dilakukan sebagai lambang kesetiaan seorang istri ngidak tigan, dilakukan oleh pengantin
pria dan tanpa menggunakan alas kaki. Prosesi ini menggunakan telur ayam
kampung yang diletakkan di dalam wadah dengan taburan irisan daun pandan dan
bunga mawar. sinduran, ritual ini dilakukan dengan membentangkan kain
atau sindur kepada kedua pengantin oleh ibu untuk kemudian melangkah berjalan
ke pelaminan. Peran Ayah adalah berada di depan menuntun kedua mempelai dengan
berjalan memegangi sindur. Prosesi ini mempunyai makna agar kedua mempelai
selalu bersama karena telah dipersatukan. kacar kucur, prosesi ini dimulai dengan
pengantin pria mengucurkan sebuah kantong yang berisi biji-bijian, uang koin
dan beras kuning ke pangkuan pengantin wanita. Makna dari prosesi ini adalah
bahwa tugas suami adalah mencari nafkah, sedangkan istri yang mengelola.
Prosesi ini melambangkan kesejahteraan dalam rumah tangga. sungkeman, dilakukan
kepada orang tua dari kedua pengantin. Maknanya adalah sebagai bentuk
penghormatan dan meminta restu atas pernikahan. pangkon timbang, prosesi
ini dilakukan dengan duduk di pangkuan ayah mempelai wanita. Mempelai wanita
duduk di sebelah paha kiri ayah dan mempelai pria di sebelah kanan paha ayah
mertuanya. Makna dari prosesi ini adalah sebagai harapan agar kedua mempelai
memiliki keturunan dan dapat dengan adil berbagi kasih sayang seperti sang
ayah. Selain itu, prosesi ini untuk menimbang bahwa tidak ada perbedaan kasih
saying untuk anak dan menantu. dahar
saklimah, atau disebut dengan dulang-dulangan. Prosesi ini saling menyuapi
antara kedua pengantin dilakukan sebanyak tiga kali suapan. Maknanya adalah
harapan agar pernikahan berjalan rukun, saling membantu sebagai keluarga baru.
Semua prosesi tersebut dilaksanakan agar pernikahan berjalan dengan harmonis.
Ritual
Tradisi Pernikahan Masyarakat Kedalon Batangan
Setelah melakukan
segala adat ritual pernikahan jawa, selanjutnya adalah para pengantin
diharuskan untuk melaksanakan tradisi mubeng pundhen. Mubeng pundhen adalah
sebuah tradisi dan budaya dari nenek moyang dimana mempelai pria dan wanita
beserta keluarga kedua belah pihak mengitari pundhen sebanyak tiga kali
putaran. Tradisi mubeng pundhen ini dilaksanakan untuk menghormati atau
berkunjung (sowan) kepada para leluhur. Setelah melaksanakan ritual mubeng
pundhen, selanjutnya adalah mengitari makam Dampo Awang. Makam Dampo Awang
adalah sebuah tanah lapang berbentuk persegi yang dikeramatkan oleh masyarakat
Dukuh Kedalon. Pada
tahun 1975 tanah tersebut pernah digali oleh Mbah Kadir yang merupakan juru
kunci dari makam Singo Nyidro. Di ceritakan bahwa saat beliau menggali tanah
tersebut, terlihatlah sosok kapal yang sangat besar, namun penduduk setempat
tidak dapat melihatnya. Kapal tersebut hanya dapat dilihat oleh golongan
orang-orang tertentu. Ritual yang terakhir adalah kedua pihak mempelai beserta
keluarganya mengitari makam Kamdowo. Makam tersebut merupakan makam dari Mbah
Singo Nyidro, yang merupakan nenek moyang sekaligus pendiri dari Dukuh kedalon.
Ketiga tradisi tersebut dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan kepada para
leluhur dan sebagai kunjungan (sowan) bahwa mempelai wanita dan laki-laki akan
melanjutkan babak hidup baru sebagai pasangan pengantin. Namun demikian ritual
tersebut, pernah beberapa orang tidak melaksanakannya. Seperti yang disampaikan
oleh narasumber, bahwa pada tahun 1990 Rukin yang merupakan masyarakat dari
Dukuh Kedalon, menganggap bahwa ritual tersebut merupakan musrik dan sesat.
Maka setelah melaksanakan akad nikah, beliau langsung pergi ke rumah mempelai
wanita dan tidak menjalankan ketiga ritual tersebut. Setelah beberapa saat,
beliau sering tertimpa musibah. dari mulai kecelakaan lalu lintas sampai
menyebabkan gagar otak, tertimpa reruntuhan bangunan, dan kemudian
sakit-sakitan. Lalu banyak masyarakat yang memperingatkan beliau bahwa kejadian
tersebut ada kaitannya dengan ritual yang tidak dilaksanakan saat sudah menikah
dulu. Lalu beliau beserta istrinya melaksanakan ketiga ritual tersebut pada
malam hari agar tidak banyak diketahui orang karena merasa malu, dan benar saja
setelah melaksankan ritual mengitari pundhen, Makam Dampo Awang, dan Makam
Kamdowo (Singo Nyidro); beliau hidup dengan damai. Masyarakat Dukuh Kedalon
mengatakan, bahwa ritual yang mereka laksankan tersebut adalah sebagai bentuk
penghormatan kepada para leluhur atau nenek moyang mereka, tetapi kepercayaan
mereka tetap kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tata cara mengitari pundhen diawali
dengan kenduri di pundhen Dukuh Kedalon yang dilaksanakan tiga hari sebelum
prosesi pernikahan. Pihak keluarga membuat sesaji yang berupa nasi tumpeng yang
dibuat kerucut dan bentuknya kecil. Ketika memasak, nasi ini tidak boleh di
cicipi dan harus di masak oleh orang yang dianggap dalam keadaan suci. Orang yang
memasak nasi ini harus dalam keadaan suci dan tidak sedang mengalami menstruasi
atau sedang nifas. Sebelum memasak, juru masak harus mandi dan keramas untuk
mensucikan diri. Nasi tumpeng dibuat sebanyak tiga buah sebagai sesaji di tig
tempat, yaitu di pundhen Dukuh Kedalon, Makam Dampo Awang, dan Makam Kamdowo.
Masing-masing nasi tumpeng ini diberi satu buah cabai merah diatasnya dan satu
siung bawang merah dibuat sate dan diletakkan di dekat nasi. Sesaji juga
terdapat satu butir telur ayam kampung yang masih mentah, pisang susu sebanyak
enam buah, dan satu buah kue jipang atau berondong beras ditaruh dipinggir nasi
tumpeng. Nasi tumpeng ini ditaruh diwadah nampan yang beralaskan daun pisang.
Untuk menginang, bahannya adalah gula merah, kencur, satu siung bawang putih
dibungkus menggunakan daun pisang. Bahan untuk menginang terdiri dari beberapa
helai daun sirih dan gambir. Bungkusan terakhir berisi tiga macam bunga. Proses
selanjutnya adalah menyediakan menyan dan merang sebanyak tiga ikat untuk
dibakar di tiga tempat yang sudah disebutkan diatas. Kemudian pihak keluarga atau sesepuh keluarga
meletakkan sesaji disertai membakar merang dan menyan di tiga tempat. Pertama
di pundhen Dukuh Kedalon, kedua di Makam Dampo Awang, ketiga di Makam Kamdowo. Ritual ini
dilaksanakan sehari sebelum acara pernikahan berlangsung. Ritual mengitari
pundhen dilaksanakan dengan berjalan kaki dengan tidak menggunakan alas kaki.
Sesepuh yang membakar merang berjalan berada didepan pengantin kemudian diikuti
rombongan keluarga dari kedua pihak pengantin. Ritual mengelilingi pundhen ini dilaksanakan
sebanyak tiga kali putaran. Ritual ini dilaksanakan pengantin sebagai bentuk
penghormatan terhadap para leluhur untuk memulai hidup baru sebagai pasangan
pengantin yang hdup damai dan terhndar dari musibah.
PENUTUP
Hasil penelitian ini
masih perlu tahap penyempurnaan. Garapan penelitian yang perlu dibahas dibagian
lain adalah bagaimana pola-pola pelaksanaan ritual oleh tradisi-tradisi
pernikahan di Dukuh Kedalon. Semua pembahasan di atas merupakan usaha dari
penelitian, sumber yang didapat adalah murni wawancara kepada Bapak Mas’ud dan
Saudara Syamsul dan selebihnya sumber tertulis. Penulis berharap, bahwa
penelitian ini dapat di jadikan pedoman bagi penelitian selanjutnya. Maka dari
itu, penulis mengucapkan terimaksih kepada Bapak Mas’udi, S.Fil.,MA selaku
dosen dari mata Kuliah Ilmu Budaya Lokal yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis melaksankan penelitian ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Alfian, R. L. (2018). Dari Cultural Memory ke Cultural
Identity. Aceh Anthropological Journal, Vol. 2, No.2.
Aziz, S. (2017). Tradisi Pernikahan Adat Jawa Keraton
Membentuk Keluarga Sakinah. Ibda, 23-25.
Octaviana, F. (2014). Implementasi Makna Simbolik
Prosesi Pernikahan Adat JawaTengah Pada Pasangan Suami Istri. 8-10.
W., E. K. (2019, September). Tradisi Mubeng Punden
Dalam Pernikahan Ditinjau Dari Perspektif Hukum Islam. Attarbiyah,
62-72.
Komentar
Posting Komentar